KETAHANAN NASIONAL
DI
PERBATASAN INDONESIA – SINGAPURA
Saat ini perbatasan laut antara
wilayah Indonesia dengan Singapura sedang diperdebatkan, terkait dengan klaim
daratan hasil reklamasi yang dibuat oleh Singapura sebagai titik dasar
penetapan batas wilayah laut antara kedua negara. Pemerintah Indonesia tak mau
mengakui wilayah darat hasil reklamasi wilayah laut Singapura
Penentuan titik-titik koordinat pada
Batas Laut Wilayah Indonesia dan Singapura didasarkan pada prinsip sama jarak (equidistance)
antara dua pulau yang berdekatan. Pengesahan titik-titik koordinat tersebut
didasarkan pada kesepakatan kedua pemerintah.Titik-titik koordinat itu terletak
di Selat Singapura. Isi pokok perjanjiannya adalah garis Batas Laut Wilayah
Indonesia dan laut wilayah Singapura di Selat Singapura yang sempit (lebar
lautannya kurang dari 15 mil laut) adalah garis terdiri dari garis-garis lurus
yang ditarik dari titik koordinat.
Namun, di kedua sisi barat dan timur
Batas Laut Wilayah Indonesia dan Singapura masih terdapat area yang belum
mempunyai perjanjian perbatasan. Di mana wilayah itu merupakan wilayah
perbatasan tiga negara, yakni Indonesia, Singapura dan Malaysia. Pada sisi
barat di perairan sebelah utara pulau Karimun Besar terdapat wilayah berbatasan
dengan Singapura yang jaraknya hanya 18 mil laut. Sementara di wilayah lainnya,
di sisi timur perairan sebelah utara pulau Bintan terdapat wilayah yang sama
yang jaraknya 28,8 mil laut. Kedua wilayah ini belum mempunyai perjanjian batas
laut.
Perkembangan Konflik Perbatasan Indonesia – Singapura
Hubungan dengan tetangga dekat bisa
jadi lebih rawan konflik daripada hubungan dengan negara yang jauh. Hal ini
tercermin dalam masalah hubungan Indonesia dengan Singapura. Tidak
dapat dipungkiri bahwa Indonesia dan Singapura adalah dua negara tetangga
paling dekat dan saling membutuhkan. Kedua negara memiliki hubungan harmonis,
terutama pada era Suharto. Hal ini tidak lepas dari peran mantan presiden
Suharto yang di hadapan PM Lee memiliki kharisma, kualitas kepribadian yang
diakui memegang peranan penting sebagai kekuatan tak nampak dalam hubungan
diplomatik. Seiring dengan mundurnya kedua mantan kepala pemerintahan senior
itu diiringi dengan berbagai perkembangan yang mempengaruhi kedua negara,
hubungan harmonis itu menurun kualitasnya. Konflik RI-Singapura, sekalipun
masih dapat dinilai “cukup baik”, mengalami beberapa gangguan yang belum
teratasi.
Konflik
antara Indonesia dengan Singapura, terutama setelah reformasi,
bukanlah yang pertama kali terjadi. Menoleh ke belakang, beberapa gangguan
dalam hubungan diplomatik kedua negara ini dipicu oleh berbagai persoalan,
seperti masalah “perang urat syaraf” antara mantan Presiden Habibie dengan
mantan PM Lee Kuan Yew dan dilanjutkan dengan mantan Presiden Abdurrahman Wahid,
menyusul soal tuntutan RI soal perjanjian ekstradisi untuk pengembalian para
penjahat ekonomi, masalah kabut asap dan terakhir sengketa pasir.
Kasus konflik pasir ini ironis,
bahwa sebuah negara sangat kecil dapat mengancam keselamatan wilayah sebuah
negara besar “hanya” dengan cara membeli seonggok demi seonggok sarana pembatas
wilayah. Singapura menolak larangan tersebut karena, seperti yang dikatakan
Menlu George Yeo, Indonesia tidak memiliki landasan untuk melarang
ekspor pasir. Hal ini sangat merugikan bangsa kita Indonesia.
Sengketa pasir berawal dari
dilarangnya ekspor pasir Indonesia ke semua negara, termasuk ke
Singapura. Larangan ekspor pasir yang dikeluarkan pemerintah ini sangat tepat,
mengingat kerugian yang ditimbulkannya sangat mengancam keselamatan lingkungan
dan eksistensi negara kita karena berubahnya peta wilayah RI. Pengerukan pasir
yang terus menerus dapat mengakibatkan berbagai kerawanan lingkungan yang
mengancam keselamatan penduduk Indonesia, terutama di daerah pesisir
pantai.
Selama ini Singapura adalah salah
satu pengimpor pasir terbesar dari Indonesia. Ini dilakukan sejalan dengan
lajunya tingkat industri konstruksinya sehubungan dengan proyek reklamasi
pantainya. Seperti yang dinyatakan oleh Inspektur Jendral TNI AL, Mayjend Mar
Nono Sampono, akibat reklamasi besar-besaran tersebut, perbatasan kedua negara
mengalami perubahan yang dampaknya sangat merugikan Indonesia. Reklamasi
pantai-pantai di Singapura menyebabkan daratan negara kota itu bertambah 12 km
ke arah perairan Indonesia, sedangkan wilayah perairan Indonesia berkurang 6
km. Jika tidak segera dihentikan, maka luas wilayah Indonesia akan terus
berkurang dan Singapura akan memiliki daratan lebih luas daripada yang
dimilikinya saat ini.
Tergerusnya wilayah
perairan Indonesia diperparah dengan menyempitnya wilayah
daratan Indonesia. Contohnya, beberapa pulau kecil di kepulauan Riau yang
berbatasan dengan Singapura tenggelam akibat eksplorasi pasir untuk memenuhi
kebutuhan Singapura. Tindakan Singapura benar-benar menunjukkan sindrom negara
kecil yang berbatasan dengan negara superluas seperti Indonesia.
Penjualan pasir ini seharusnya sudah
harus diantisipasi jauh-jauh hari dengan dikeluarkannya berbagai peraturan yang
mencegah habisnya pasir Indonesia. Namun sayangnya upaya-upaya ke arah ini
belum dilakukan karena bisnis pasir, baik legal maupun ilegal, melibatkan
beberapa pihak yang mendapatkan keuntungan finansial. Ketidakjelasan perbatasan
di pulau-pulau terluar Indonesia menyebabkan pihak-pihak tersebut
secara sadar maupun tidak, menjual negara kepada pihak asing. Maka RUU
Perbatasan Negara menjadi kebutuhan yang urgensinya sangat tinggi untuk segera
disahkan, bukan saja untuk mengatasi masalah perbatasan dengan Singapura tetapi
juga dengan negara-negara lain yang memiliki masalah perbatasan
dengan Indonesia. Keputusan Indonesia menghentikan pejualan pasir
Singapura ini merupakan salah satu cara untuk menekan Singapura agar negara itu
bersedia menandatangani perjanjian perbatasan yang selama ini diabaikan oleh
Singapura.
Faktor lain, seperti yang
dikemukakan oleh Dirjen Asia Pasifik dan Afrika Deplu, Primo Alui Joelianto,
yang mendorong Indonesia menghentkan ekspor pasir ke Singapura adalah masalah
ekstradisi. Telah diketahui bahwa selama ini Singapura selalu menolak
menandatangani perjanjian ekstradisi yang sangat diperlukan
oleh Indonesia dalam rangka pemberantasan korupsi. Singapura
merupakan tempat pelarian para penjahat ekonomi Indonesia karena
berbagai kemudahan dan keamanan yang ditawarkan negara tersebut atas aset pihak
asing.
Menghadapi tuntutan ini, Singapura
menyatakan adalah tanggungjawab Indonesia untuk menyelesaiakan sendiri
urusannnya dengan para koruptor tersebut. Indonesia menuduh Singapura
melindungi mereka karena Singapura diuntungkan dengan simpanan uang para koruptor
di berbagai lembaga keuangan Singapura. Negara ini memetik keuntungan yang
besar dengan masuknya “uang haram” yang dilarikan oleh para koruptor itu.
Memang benar bahwa korupsi adalah masalah internal Indonesia. Namun tanpa
bantuan Singapura, sistem hukum Indonesia tidak mampu menjangkau para penjahat
tersebut karena mereka berada di luar batas yurisdksi hukum negara kita.
Ketidaksediaan Singapura untuk bekerjasama dengan Indonesia merupakan ganjalan
yang berpotensi menganggu dalam hubungan diplomatik kedua negara.
Menteri Pertahanan (Menhan)
menyatakan bahwa Indonesia tetap beranggapan bahwa penetapan batas wilayah laut
akan ditarik dari base point (titik dasar) masing-masing negara. Pada rapat
kerja dengan Komisi I DPR guna membahas ratifikasi perjanjian batas wilayah
laut Indonesia-Singapura, Purnomo menjelaskan, Pulau Nipah di dekat Batam akan
menjadi base point bagi Indonesia untuk menetapkan batas wilayah laut dengan
Singapura. Dari pulau tersebut, akan ditarik garis pangkal ke Pulau Karimun Kecil.
Penghitungan batas wilayah kedua negara ini tidak membenarkan hasil reklamasi
yang dilakukan Singapura. Indonesia menggunakan referensi titik dasar Indonesia
di Pulau Nipah dan garis pangkal kepulauan Indonesia yang ditarik dari Pulau
Nipa ke Pulau Karimun kecil.
Pada kesempatan sama, Menteri Luar
Negeri Marty Legawa mengungkapkan bahwa belum seluruhnya titik-titik perbatasan
laut Indonesia-Singapura disepakati. Dijelaskannya, titik perbatasan laut yang
belum disepakati antara lain di wilayah timur Singapura dengan Pulau Batam,
karena adanya sengketa kepemilikan Pulau Batu Puteh antara Singapura dengan
Malaysia. Proses perundingan segmen timur belum dimulai karena Singapura ada
sengketa wilayah dengan Malaysia yang berdampak ke Indonesia.
Namun demikian Marty memegaskan
bahwa perundingan untuk mencapai kesepakatan sudah mulai digelar. Mantan juru
bicara Kementrian Luar Negeri itu menambahkan, kunjungan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyonmo pekan lalu ke Singapura, juga dalam rangka membahas soal
itu.
Permasalahan muncul setelah
Singapura dengan gencar melakukan reklamasi pantai di wilayahnya. Sehingga
terjadi perubahan garis pantai ke arah laut (ke arah perairan Indonesia) yang
cukup besar. Bahkan dengan reklamasi, Singapura telah menggabungkan beberapa
pulaunya menjadi daratan yang luas. Untuk itu batas wilayah perairan Indonesia
– Singapura yang belum ditetapkan harus segera diselesaikan, karena bisa
mengakibatkan masalah di masa mendatang. Singapura akan mengklaim batas lautnya
berdasarkan Garis Pangkal terbaru, dengan alasan Garis Pangkal lama sudah tidak
dapat diidentifikasi. Namun dengan melalui perundingan yang menguras energi
kedua negara, akhirnya menyepakati perjanjian batas laut kedua negara yang
mulai berlaku pada 30 Agustus 2010. Batas laut yang ditentukan adalah Pulau
Nipa dan Pulau Tuas, sepanjang 12,1 kilometer. Perundingan ini telah
berlangsung sejak tahun 2005, dan kedua tim negosiasi telah berunding selama
delapan kali. Dengan demikian permasalahan berbatasan laut Indonesia dan
Singapura pada titik tersebut tidak lagi menjadi polemik yang bisa menimbulkan
konflik, namun demikian masih ada beberapa titik perbatasan yang belum
disepakati dan masih terbuka peluang terjadinya konflik kedua negara
AKAR MASALAH DAN SOLUSI
Akar Masalah Perbatasan Indonesia –
Singapura
Salah satu persoalan yang paling mendasar dan krusial yang
memicu konflik antar negara adalah masalah perbatasan. Termasuk Indonesia yang
mempunyai persoalan dengan perbatasan, terutama mengenai garis perbatasan di
wilayah perairan laut dengan negara-negara tetangga. Bukan hanya dengan
Malaysia Indonesia bersengketa mengenai perbatasan dan klaim pulau seperti yang
kebanyakan diketahui oleh kalangan masyarakat, namun dengan Singapura pun
Indonesia mempunyai masalah dalam perbatasan negara baik maritim maupun pasir.
Faktor-faktor yang dapat menyulut persengketaan antar negara
dimaksud antara lain:
a) Ketidaksepahaman mengenai garis
perbatas-an antar negara yang banyak yang belum tersele-saikan melalui
mekanisme perundingan
b) Peningkatan persenjataan dan
eskalasi kekuatan militer baik oleh negara-negara yang ada di kawa-san
ini, maupun dari luar kawasan.
c) Eskalasi
aksi terorisme lintas negara,
dan gerakan separatis
bersenjata yang dapat mengundang kesalahpahaman
antar negara bertetangga.
Masalah yang timbul dalam penetapan batas
wilayah antara Indonesia dengan Singapura adalah reklamasi pantai yang selalu
dilakukan Singapura sejak melepaskan diri dari Federasi Malaysia untuk
memperluas wilayahnya. Luas wilayah singapura pada awalnya adalah 580 km2, dan
pada tahun 2005 jumlahnya bertambah menjadi 699 km2. Hal itu menandakan luas
wilayah Singapura selama hampir 40 tahun bertambah 199 km2. Luas Selat
Singapura juga makin berkurang, tidak mencapai 24 mil laut yang sudah menjadi
ketetapan internasional. Sejumlah pihak mengkhawatirkan reklamasi pantai yang
dilakukan Singapura karena akan merubah wilayah batas kedua negara yang sudah
disetujui pada tahun 1973.
Daratan Singapura, menjadi maju 12 km dari original
base line perjanjian perbatasan sebelumnya. Pihak Indonesia juga khawatir
dengan majunya daratan Singapura, dikhawatirkan penetapan batas wilayah di
Selat Singapura juga akan berubah. Sebenarnya, jika kita merujuk pada Pasal 6
ayat 8 UNCLOS 1982 pihak Indonesia tidak perlu khawatir.
Pasir yang diambil kebanyakan berasal dari
pulau-pulau di Kepulauan Riau. Pelarangan ekspor pasir dari Riau ke Singapura
sebenarnya telah keluarkan oleh pemerintah Indonesia di tahun 2002, setelah
dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 2/2002. Pelarangan itu tidak bertahan
lama, karena penambangan pasir di Riau kembali dibuka setelah DPR membentuk Tim
Pengawasan Pasir Laut. Maret 2003, penambangan pasir ini kembali ditutup oleh
pemerintah setelah Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Rini Suwandi
mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 117/MPP/Kep/II/2003
Revisi dari Traktat London ini membuat adanya perbatasan baru antara Singapura yang saat itu masih tergabung dalam
wilayah Malaysia dengan Indonesia. Tidak hanya memunculkan perbatasan baru bagi
Singapura dengan Indonesia, namun juga merupakan awal terpisahnya Tanah Melayu
dan Indonesia secara politik. Setelah adanya Traktat London atau Treaty of
Commerce and Exchange Between Great Britain and Netherlands, membuat Singapura
menjadi semakin maju, banyak kapal-kapal internasional dan domestik lebih
memilih Singapura daripada Batavia karena banyak kebutuhan yang dapat ditemukan
di Singapura, ketimbang Batavia. Semenjak itu Selat Singapura menjadi jalur
lalu lintas perdagangan laut antara India dengan Cina atau Asia Barat dengan
Asia Tenggara dan Timur.
Masalah perbatasan kemudian menjadi semakin
runyam setelah Singapura melepaskan diri dari Federasi Malaysia tahun 1965.
Pangkal masalahnya adalah lebar Selat Singapura yang tidak mencapai 24 mil
sebagai persyaratan dari Konvensi Hukum Laut PBB. Konvensi Hukum Laut PBB ini
berisi batas wilayah teritorial laut suatu negara ditarik 12 mil laut yang
ditarik dari pangkal pulau terdepan suatu negara. Hal ini merupakan gagasan
yang dirancang Panitia Pringadi atas perintah Perdana Menteri Indonesia Ali
Sastroamijoyo yang melahirkan Deklarasi Djuanda 1957. Beberapa masalah kemudian
menjadi pengganjal untuk menetapkan daerah perbatasan Indonesia-Singapura. Salah
satu masalah besar itu adalah reklamasi pantai yang dilakukan Singapura untuk
memperluas wilayahnya.
Di masa-masa setelah kemerdekaan Indonesia
tahun 1950, pemerintah saat itu belum memprioritaskan untuk membenahi masalah
perbatasan dengan Malaya. Ada tigal hal yang menyebabkan hal itu bisa terjadi.
Pertama, pemerintah lebih berkonsentrasi mengurus masalah dalam negeri daripada
luar negeri. Kedua, masalah New Guinea (Irian Barat) yang masih masuk dalam
cengkraman Belanda, dan dibahas setelah KMB. Ketiga, pemerintahan Malaya juga
menghadapi masalah dalam negeri dalam hubungannya dengan Inggris yang menjajah
mereka.
Masalah perbatasan Indonesia mulai mendapat
perhatian di masa Kabinet Ali Sastroamijoyo II (24 Maret 1956 – 14 Maret 1957).
Batas wilayah laut di Indonesia pada saat itu masih diatur dengan undang-undang
‘warisan’ Belanda, Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie 1939.
Ordonantie yang dikeluarkan tahun 1939 ini mengatur bahwa jarak teritorial bagi
tiap-tiap pulau di Indonesia adalah tiga mil dari garis pantai masing-masing
pulau. Peraturan itu membuat banyak wilayah laut bebas di antara pulau-pulau
yang ada di Indonesia. Gagasan untuk mengubah Ordonantie 1939 muncul atas
desakan dari beberapa departemen yang merasa hukum laut warisan Belanda itu
tidak dapat melindungi keutuhan wilayah Negara Indonesia. Setelah itu Perdana
Menteri Ali Sastroamijoyo membentuk sebuah tim yang ditugaskan untuk membuat
Rancangan Undang-Undang tentang Wilayah Perairan Indonesia dan Lingkungan
Maritim. Tim yang berdiri berdasarkan Keputusan Perdana Menteri RI No.
400/P.M./1956 itu dipimpin oleh Kolonel Laut R. M. S. Pirngadi.
Panitia Pirngadi, setelah hampir satu tahun
lebih, dapat menyelesaikan rencana RUU Wilayah Perairan Indonesia dan
Lingkungan Maritim. Sebagian besar isi dari RUU itu hampir sama dengan
Ordonantie 1939, namun memiliki perbedaan di garis territorial yang sebelumnya
3 mil menjadi 12 mil laut. RUU tersebut belum sempat disetujui, karena Kabinet
Ali II kemudian bubar, dan digantikan oleh Kabinet Djuanda. Kabinet Djuanda
masih melanjutkan RUU Wilayah Perairan Indonesia dan Lingkungan Maritim, dengan
menugaskan Mr. Mochtar Kusumaatmaja untuk mencari dasar hukum untuk
mempertahankan wilayah Republik Indonesia. Ir. Djuanda mempunyai pemikiran
bahwa RUU tersebut harus segera diratifikasi, karena banyak kapal Belanda yang
melakukan intervensi dari dan menuju New Guinea. Gagasan yang digunakan Mr.
Mochtar Kusumaatmaja adalah menggunakan konsep asas negara kepulauan atau asas
archipelago. Gagasan tersebut diterima pada saat sidang parlemen pada tanggal
13 Desember 1957. Kemudian pemerintah mengeluarkan pengumuman sebagai berikut: “segala
perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian
pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak
memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah
daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian daripada
perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak daripada Negara
Republik Indonesia. Lalu-lintas yang damai di perairan pedalaman ini bagi
kapal-kapal asing dijamin selama dan sekedar tidak bertentangan
dengan/mengganggu kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia ”.
Pemisahan antara Singapura dan Malaysia,
membuat Indonesia menghadapi masalah baru dalam hal perbatasan wilayah.
Sebelumnya, masalah ini dapat diselesaikan secara bilateral, namun sekarang
menjadi sulit karena Singapura dan Malaysia tidak ada di dalam satu
kepemimpinan lagi. Selain itu, Singapura dan Malaysia juga mempunyai perbedaan
dalam sikap politiknya terkait pengaturan batas wilayah dengan Indonesia. Usaha
mengatasi permasalahan wilayah perbatasan dengan wilayah negara tetangga,
khususnya Singapura dan Malaysia, mulai dijalankan di masa pemerintahan
Presiden Soeharto. Adam Malik selaku Menteri Luar Negeri saat itu ditugaskan
untuk melakukan pembicaraan dan kesepakatan dengan Malaysia pada 1969. Masalah
yang menjadi pembahasan saat itu adalah Garis Batas Landas Kontinen di Selat
Malaka dan Laut Cina Selatan. Penyelesaian batas laut itu ditetapkan dengan
mencapai titik tengah antara garis batas terluar pada saat air laut surut di
masing-masing pantai. Cara itu kemudian disetujui oleh kedua belah pihak,
dengan menambahkan beberapa cara lain pada 1970, dan mengikutsertakan Thailand
dalam persetujuan ini di tahun 1971.
Solusi Masalah Perbatasan Indonesia
– Singapura
Untuk mengamankan
kebijakan pemerintah dalam masalah wilayah perbatasan, pemerintah mengeluarkan
UU No. 1 tahun 1973 yang berisi tentang Landasan Kontinen Indonesia, semua
kekayaan yang ada di dalam Landasan Kontinen Indonesia merupakan hak milik
pemerintah Indonesia. Tidak hanya itu, daerah perbatasan juga akan mulai
diberdayakan, seperti Pulau Batam yang berbatasan langsung dengan Singapura.
Selat Singapura
yang lebarnya tidak terlalu luas, menjadi masalah tersendiri bagi UU nomor 1
tahun 1973. Singapura yang juga dikelilingi pulau-pulau kecil disekitarnya
dalam menarik garis batas perlu ketelitian agar tidak mendapatkan protes dari
pemerintah Singapura. Beberapa perundingan dilakukan untuk menyelesaikan
masalah ini, kesepakatan pun terjadi pada Mei 1973, dengan ditandatanganinya
Garis Batas Laut Wilayah di Jakarta. Untuk menetapkan garis awal perbatasan dan
karena jarak Selat Singapura yang sempit, maka akhirnya diambil keputusan untuk
mengambil batas kedua negara dari wilayah atau pulau terdepan masing-masing
negara. Dengan melihat dari Wawasan Nusantara yang sudah menjadi bagian dari
ketetapan UNCLOS, maka beberapa langkah kemudian dilakukan pemerintah Indonesia
untuk menghadapi persoalan perbatasan dengan Singapura. Namun di sisi lain,
ketetapan UNCLOS ini membuat beberapa pulau-pulau kecil yang ada di garis luar
batas wilayah lautan yang berpotensi menimbulkan konflik.
Disetujuinya Perjanjian
Penetapan Perbatasan Indonesia – Singapura di Bagian Barat Selat Singapura. Sebagai
bentuk kelanjutan dari diplomasi yang dilakukan pemerintah Indonesia dan
Singapura, pada Maret 2009, perjanjian batas laut antara kedua negara
ditandatangani di Jakarta. Pembicaraan tentang perjanjian ini sudah dilakukan
sejak tahun 2005, untuk menyelesaikan batas wilayah Indonesia-Singapura di
bagian barat Selat Singapura, antara perairan Tuas dan Nipah. Sementara untuk
wilayah tengah dan timur, masih dalam tahap penyelesaian, karena memerlukan
kajian yang lebih mendalam. Disetujuinya perjanjian batas laut ini, diharapkan
dapat mempertegas posisi Pulau Nipah sebagai titik dasar yang digunakan
dalam pengukuran batas maritim Republik Indonesia dengan Singapura.
Penetapan batas
laut wilayah Indonesia dan Singapura ini memiliki beberapa keuntungan. Selain
adanya kejelasan batas wilayah kedua negara tersebut, keuntungan lain adalah,
memudahkan upaya pengawasan dan penegakan kedaulatan negara di wilayah
tersebut, memudahkan upaya Indonesia sebagai negara pantai untukmenjamin
keselamatan jalur navigasi di Selat Singapura, dan meningkatkan hubungan baik
kedua negara. Dalam menetapkan perjanjian ini, pemerintah Indonesia menolak
mengakui wilayah reklamasi Singapura, dan menggunakan perjanjian tahun 1973
sebagai sumber. Menurut Pasal 60 Ayat 8 UNCLOS disebutkan bahwa, “pulau buatan,
instalasi, dan bangunan tidak mempunyai status pulau dan laut teritorialnya
sendiri, maka kehadirannya tidak memengaruhi penetapan batas laut teritorial,
Zona Ekonomi Eksklusif, dan landasan kontinen.”
http://ayu-maha.blogspot.com/2012/11/ketahanan-nasional-indonesia-dalam.html